Oleh: Mauli Siahaan
PENGANTAR
Teologi Kontemporer merupakan masalah yang dihadapai oleh gereja masa kini. Di satu sisi merupakan musuh yang harus diwaspadai, tetapi di sisi yang lain merupakan alat untuk menyadarkan gereja agar tidak terlalu asyik dalam kenyamanan. Karena bagaimanapun Teologi Kontemporer muncul karena ketidak hadiran gereja dalam menjawab masalah-masalah yang ada dalam masyarakat pada umumnya dan juga dalam gereja pada khususnya. Itulah sebabnya geereja harus menyikapi hadirnya teologi ini dengan suatu reaksi yang pada tempatnya yaitu untuk bangun dari tidur agar mempersiapkan umat untuk memiliki pengajaran yang benar tetapi juga agar memberitakan Injil sesuai dengan memperhatiakan kebutuhan masyarakat yang ada di sekitar gereja.
Bagaimanapun gereja harus hadir dalam memenuhi kebutuhan umat kalau tidak maka akan diisi oleh pengajaran-pengajaran yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan salah satu yang mengisi itu adalah Teologi Kontemporer. Itulah sebabnya gereja harus bangkit dengan lebih bersuara lantang untuk memberitakan firman Allah yang ada dalam Alkitab sehingga umat diperlengkapi dengan kebenaran yang ada di dalamnya. Dengan demikian sekalipun muncul Teologi Kontemporer tidak akan menjadi masalah karena gereja sudah diperlengkapi dengan dasar yang kokoh sehingga tidak akan pernah terseret dari jalur kebenaran firman Allah.
Itulah sebabnya penulis mencaba memaparkan faham-faham Teologi Kontemporer ini khususnya gagasan dari Karl Marx yaitu Marxisme, pemikiran C.S. Song, Teologi Feminis, Teologi Pembebasan, dan Teologi Sukses. Dengan demikian setiap orang yang membaca tulisan ini akan semakin mengetahui pimikiran-pemikiran mereka yang menyimpang dan mewaspadainya.
PENDAHULUAN
Firman Tuhan berkata, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” (2 Timotius 4:3). Hal itu sudah terjadi dan dimulai pada abad pencerahan, di mana dunia dilanda oleh rasionalisme yang mengagung-agungkan rasio. Orang berusaha untuk menyelidiki Alkitab bukan dengan hati tetapi dengan akal pikiran manusia semata-mata. Hal itu melahirkan apa yang disebut Teologi Kontemporer.
Teologi Kontemporer lahir pada tahun 1919, dengan tokohnya yang bernama Karl Barth, sekalipun sebenarnya pemikiran teologia ini sudah ada sejak jaman pencerahan yang dipelopori oleh tokoh filsafat yang bernama Immanuel Kant. Tema utama pemikiran Karl Barth adalah perbedaan kwalitatif yang tak terbatas antara kekekalan dan waktu, surga dan bumi, Allah dan manusia. Allah tidak boleh diidentifikasikan dengan apapun di dalam dunia, bahkan tidak juga dengan perkataan-perkataan Alkitab.
Teologi Kontemporer melihat Alkitab hanya sebagai kitab kuno sama seperti kitab-kitab yang lain sehingga mereka mencoba mengkritisinya dengan akal pikiran manusia dan tidak memiliki penghargaan sedikitpun terhadap Alkitab sebagai wahyu Allah. Para teolog kontemporer lebih menitik beratkan penyelidikan Alkitab dari sudut pandang filsafat. Walaupun Alkitab dengan tegas berkata, “... sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Petrus 1:21), namun tokoh-tokoh dari teologi kontemporer melihat tulisan-tulisan yang ada dalam Alkitab adalah hasil karya manusia belaka yang perlu dikritisi kebenarannya. Sikap inilah yang kemudian menghasilkan karya-karya yang sangat jauh dari kebenaran firman Tuhan yang terdapat dalam Alkitab.
Menurut Prof. DR. Eta Linnemann, Teologia Kontemporer memiliki sifat-sifat khas antara lain. Pertama. Bersifat Teologi Universitas. Tujuan utama universitas bukan mempersiapkan orang untuk melayani atau bekerja. Mereka hanya ingin mengetahui untuk mengetahui. Jadi, hasil pelajaran universitas tidak sesuai dengan kebutuhan gereja atau masyarakat. Kedua. Bersifat Teologi Historis-Kritis di mana melihat Alkitab sebagai sebuah dokumen sejarah agama kuno yang harus dinilai dan dikritik oleh akal manusia. Mereka tidak menghargai Alkitab sebagai Firman Allah, atau wahyu Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Ketiga. Tidak berdasar pada Alkitab. Mereka empunyai azas yang diambil dari filsafat tertentu. Keempat. Bertumpu pada pikiran monisme yang berarti: hanya ada satu-satunya dunia yang real, itulah dunia yang nampak. Dunia yang tak nampak secara real tidak ada (kecuali mungkin Allah sendiri), itu hanya bersifat gambaran atau mitos.
Kenyataan ini tentu harus mendapat perhatian dari setiap orang percaya yang memiliki hati terhadap Alkitab yang adalah firman Allah. Diperlukan kewaspadaan terhadap Teologi Kontermporer ini sehingga tidak terseret kepada kesesatan di satu pihak tetapi di pihak yang lain kebenaran firman Allah dalam Alkitab terus diwartakan dalam konteks masyarakat modern sehingga Injil Yesus Kristus diberitakan dengan cara yang sesuai dengan kondisi masyarakat masa kini tanpa harus mengkompromikannya.
Untuk itu perlu usaha menyelidiki teologi kontemporer ini dari perspektif Alkitab agar menemukan cara yang tepat untuk menyikapinya sehingga kebenaran firman Allah dalam Alkitab tetap menjadi dasar dari iman dan pengharapan kita di dunia ini.
FAHAM TEOLOGI KONTEMPORER
Teologi Kontemporer yang berkembang pada abad pencerahan berusaha menyajikan Alkitab dari sudut pandang rasionalisme yang memang sedang berkembang pada masa itu. Usaha ini melahirkan berbagai tokoh dan faham yang sampai hari ini mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak. Itulah sebabnya dalam bab ini penulis akan menjelaskan secara konfrehensip tokoh-tokoh dan faham dari Teologi Kontemporen.
Karl Marx dan Marxisme
Karl Heinrich Marx, lahir di Trier, Prusia, pada 5 Mei 1818. Karl Marx adalah seseorang yang lahir dari keluarga progresif Yahudi. Ayahnya bernama Herschel, keturunan para rabi, walaupun begitu ayahnya cenderung menjadi deis, yang kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama resmi Prusia, Protestan aliran Lutheran yang relatif liberal. Marx mendapat gelar Doktor pada tahun 1841 dari Universitas Friedrich-Wilhelms-Universität di Berlin. Di Berlin, minat Marx beralih ke filsafat, dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Pemuda Hegelian. Sebagian dari mereka, yang disebut juga sebagai Hegelian-kiri, menggunakan metode dialektika Hegel, yang dipisahkan dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu. Pada tahun 1881 Marx memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin, sekolah yang dulu sangat dipengaruhi Hegel dan para Hegelian Muda, yang suportif namun kritis terhadap guru mereka. Dia merupakan pendiri Idiologi komunis yang sekaligus merupakan seorang teoritikus besar kapitalisme. Lewat karya tulisannya yang merumuskan dasar-dasar teoritis Marxisme, jumlah manusia yang sedikitnya terpengaruh oleh ini sudah mendekati angka1,3 milyar banyaknya. Jumlah ini lebih besar dari jumlah penganut ideologi mana pun sepanjang sejarah manusia. Bukan sekedar jumlahnya yang mutlak, melainkan juga sebagai kelompok dari keseluruhan penduduk dunia.
Pemikiran Karl Marx
Karl Marx beserta teman dekatnya, yakni Friedrich Engles (1820-1895) menuliskan sebuah buku yang berjudul “Das Kapital”, yang isinya kurang lebih tentang bagaimana ekonomi sosial atau Marxime diorganisasikan. Yang kemudian disusul buku The Communist Manifesto (1848) yang berisikan daftar singkat karakter alamiah Marxisme. Di mana suprastruktur yang berfungsi untuk menjaga relasi produksi yang dipengaruhi oleh historis (seni, literatur, musik, filsafat, hukum, agama, dan bentuk budaya lain yang diterima oleh masyarakat).
Pemikiran Karl Marx ini dilatar belakangi oleh keadaan masyarakat pada waktu itu di mana ada sekelumit kecil orang kaya yang hidup dalam kemewahan berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya hidup bergelimang papa dan sengsara. Hal itu mengusik nurani Karl Marx untuk merubahnya secara radikal yang akhirnya melahirkan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada Marxisime. Dalam buku itu, Marx ingin membuktikan dua hal: Pertama, bahwa sistem kapitalis secara hakiki berdasarkan penghisapan tenaga kerja buruh. Kedua, bahwa sistem itu akan runtuh berdasarkan kontradiksi-kontradiksinya sendiri dan niscaya melahirkan masyarakat sosialis.
Prinsip-prinsip Marxisme modern dalam bukunya tersebut antara lan : Pertama. Pengahapusan kekayaan tanah dan menerapkan sewa tanah bagi tujuan-tujuan publik. Kedua. Pengenaan pajak pendapat yang bertingkat. Ketiga. Pengapusan seluruh hak-hak warisan. Keempat. Penarikan kekayaan seluruh emigran dan para penjahat atau pemberontak. Kelima. Sentralisasi kredit pada negara melalui bank nasional dengan modal negara dan monopoli yang bersifat eksklusif. Enam. Sentralisasi alat-alat komunikasi, dan transportasi di tangan negara. Ketujuh. Perluasan pabrik dan alat-alat produksi yang dimilki oleh negara, menggarap tanah yang tanah, dan meningkatkan guna tanah yang sesuai dengan perencanaan umum.
Buah pikiran Karl Marx ini telah menggerakkan orang untuk bertindak dan mengaktualisasikannya dalam masyarakat dan punya arti penting yang sangat luarbiasa hebatnya. Pimikiran Karl Marx yang kemudian menjadi Marxisme kebanyakan dianut dan dikembangkan oleh negara-negara komunisme.
Choan Seng Song
Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa Song sangat menentang konsep sejarah keselamatan. Ia mempertanyakan pandangan yang mengatakan bahwa Israel dan gereja yang dianggap sebagai satu-satunya pembawa dan saluran keselamatan. Pandangan demikian akan mengabaikan sejarah-sejarah lain, karena sejarah dunia dianggap tidak mempunyai kaitan langsung dengan sejarah keselamatan. Sebaliknya, sejarah keselamatan Israel dan gereja dianggap hanya sebagai simbol dari penyelamatan Allah kepada bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa lain, juga bangsa-bangsa di Asia, dapat mengalami pengalaman keselamatan sama seperti yang dialami oleh Israel dan gereja. Pemikiran ini dimiliki oleh Song, karena dia berkeyakinan bahwa sejarah suatu bangsa tidak bisa ditrasfer ke kepada bangsa lain, karena setiap bangsa memiliki karakter yang khusus. Dengan demikian Song berbedapat bahwa sejarah keselamatan di dalam bangsa Israel “dipatahkan” menjadi sejarah keselamatan kekristenan dan sejarah keselamatan bangsa-bangsa lain menjadi sejarah keselamatan kekristenan. Song menyakini bahwa Allah bisa berkarya di luar sejarah keselamatan kekristenan.
Teologi Feminisme
Istilah “Feminisme” berasal dari kata Latin : Femina yang artinya wanita. Gerakan feminisme bermaksud mengkritik struktur patriarkhat yang berada dalam masyarakat dan berusaha untuk mengadakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. Teologi feminis dimulai dari situasi penindasan yang dialami oleh perempuan baik di gereja maupun dalam masyarakat. Dominasi kaum pria yang telah berlangsung secara mengglobal jauh sebelum era globalisasi, telah menggoreskan luka yang dalam di hati banyak wanita. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi dari kaum wanita, mulai dari yang sekadar memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara bahkan yang lebih ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah berurat akar di masyarakat. Tidak heran pula jika di berbagai penjuru dunia kita menemukan gerakan kaum wanita yang dikenal dengan istilah “feminisme,” suatu gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum wanita bahwa mereka adalah makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan pria.
Pengaruh gerakan ini juga merambah ke dalam dunia teologi abad dua puluh. Pada paruh kedua tahun 1960-an, teolog-teolog wanita dan mahasiswi sekolah teologi telah mengembangkan satu genre baru dalam pemikiran Kristen kontemporer yang dikenal sebagai Teologi Feminis. Tokoh-tokoh dari gerakan ini antara lain: Mary Daly, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Schussler Fiorenza. Mereka telah mempengaruhi dunia dengan karya-karya yang mereka hasilkan.
Teologi Feminis dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa wanita sebagai hak milik, objek. Pandangan ini diangkat karena pada masa penciptaan yang menyebabkan manusia jatuh kedalam dosa ialah wanita, sehingga muncul pandangan bahwa wanita bukanlah gambaran Allah sehingga wanita dilarang untuk menjadi pemimpin, penghotbah dan pengajar dalam ibadah pelayanan gereja. Bapa-bapa gereja dipengaruhi dengan perkataan Paulus di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 Timotius 2:12-1 yang melarang wanita untuk berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Sehingga sudah barang tentu wanita hampir-hampir tidak mempunyai peran dalam gereja dan wanita dianggap dibawah dominasi pria hingga berlanjut sampai abad-abad berikutnya.
Teologi Feminis adalah gerakan teologi yang bersama-sama melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal keadilan sosial bagi perempuan. Teologi Feminis berusaha untuk melihat kekayaan dan keterbatasan dari Alkitab dan literatur Kristen, serta berusaha untuk memberikan perubahan pemikiran, baik di Gereja maupun dalam institusi akademis. Ide pokok dalam Teologi Feminis adalah keberatan terhadap tradisi kekristenan tentang hubungan antara perempuan dengan keilahian. Teolog-teolog Feminis berpendapat bahwa perempuan dapat menggambarkan Allah, baik secara penuh maupun terbatas, sama seperti Allah yang digambarkan melalui laki-laki. Teologi ini memiliki sprektrum yang luas dan terus berkembang sehingga kalau kita berbicara tentang Teologi Feminis Kristen, harus jelas Teologi Feminis Kristen yang mana, liberal, radikal atau evangelikal, karena masing-masing memiliki arah atau penekanan yang berbeda.
Walaupun ada banyak perbedaan di antara tokoh-tokoh Teologi Feminis, namun ada empat tema yang mempersatukan gerakan para feminis di seluruh dunia, yaitu: pertama, teologi Kristen tradisional bersifat patriarkhal. Kedua, teologi tradisional telah mengabaikan kaum wanita serta pengalaman mereka. Ketiga, natur teologi yang patriarkhal telah memberikan konsekuensi yang merusak bagi wanita. Keempat, wanita harus menjadi teolog yang memulai usaha teologis mereka. Hal ini didasari pemahaman gerakan ini melihat bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teologi mereka, yaitu Galatia 3:28 yang berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Ayat ini dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Berdasarkan penafsiran terhadap ayat-ayat di atas menyimpulkan bahwa Paulus dengan jelas mengukuhkan kesetaraan antara pria dan wanita dalam komunitas Kristen; pria dan wanita memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama baik di gereja maupun dalam rumah tangga. Kesimpulan lain dari penafsiran ini ialah bahwa tujuan panggilan Kristen adalah kemerdekaan.
Dengan demikian gerakan ini tidak menerima Alkitab secara keseluruhan, tetapi hanya bagian-bagian yang mendukung faham mereka saja. Setiap bagian Alkitab yang tidak mendukung gerakan ini akan ditolak, khususnya bagian-bagian yang mereka anggap meremehkan kaum perempuan. Karena Teologi Feminis hanya melihat Alkitab sebagai firman Allah tergantung pada orang yang membacanya yaitu wanita. Yang dimaksud dengan inspirasi menurut kaum feminis adalah bahwa Allah menyampaikan firman-Nya di dalam dan melalui kata-kata manusia yang bisa saja salah. Bagi para feminis, inspirasi tidak menjamin otoritas dan inerensi Alkitab. Alkitab bisa saja salah, berkontradiksi dan tidak konsisten karena adanya unsur keterbatasan manusia. Dengan demikian, bagi para feminis Alkitab tidak lebih dari “sumber” yang otoritasnya ditentukan oleh pembacanya. Alkitab bukan sumber yang normatif dan berotoritas karena yang menjadi norma adalah pengalaman dan perjuangan kaum wanita untuk mencapai kebebasan kemerdekaan dan kebebasan.
Dalam perjalanannya Teologi Feminis berkembang ke dalam dua gerakan: Pertama, Feminisme Pembaharuan yang berusaha memberi kesempatan baik bagi kaum pria maupun wanita untuk menggunakan potensinya. Sebab di dalam masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi keduanya. Kelompok ini lebih menekankan kepada kemampuan (potensi) setiap orang. Contoh, seorang perempuan bisa menjadi direktur sebuah perusahaan karena ia memiliki potensi. Kedua, Feminisme Radikal yang menganggap laki-laki sebagai musuh. Mereka menyukai apartheid, di mana tidak ada hubungan sama sekali dengan kaum laki-laki. Dalam berteologi, mereka menolak tradisi gereja. Norma-norma dan nila-nilai Alkitab tidak berlaku lagi karena dianggap terikat oleh struktur patriarkhat. Mereka menolak citra dan simbol tradisional, seperti Allah adalah Bapa.
Teologi Pembebasan
Pertanyaan serius lantas muncul, di mana Tuhan, pada situasi tidak manusiawi, situasi dosa, padahal dalam firman-Nya jelas-jelas dinyatakan Ia memihak kepada kaum tertindas. Pengalaman negatif mengenai absennya Tuhan dalam kehidupan umat melahirkan gugatan teologis yang mendorong sebagian kecil para bishop mulai mempertanyakan kembali konsep teologi mereka yang tak mampu melakukan perbaikan-perbaikan serius pada level kehidupan rakyat kebanyakan. Dan beberapa pihak meyakini bahwa jawabannya adalah Teologi Pembebasan.
Teologi Pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi Pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi Pembebasan adalah upaya berteologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi.
Pada sisi gagasan, teologi pembebasan merupakan bentuk neo-marxsian, yang sebelumnya, telah memberikan kritik amat tajam terhadap agama sebagai institusi yang menjadikan masyarakat tenggelam dalam budaya bisu. Tudingan ini tampaknya sulit untuk ditampik, karena para penganut teologia pembebasan dengan dukungan para analis sosial kritis memang mencoba melakukan instalasi ulang berbagai gagasan dari Marx, meskipun tidak langsung, melainkan gagasan yang sudah dikembangkan ulang oleh orang-orang seperti Gramsci di Italia atau Mariátegui di Peru.
Pemikiran teologi pembebasan bermula dari Hermeneutika Alkitab. Setelah menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela dan menolong orang-orang lemah, sakit, dan tertindas, maka peran agama juga seharusnya demikian. Dalam agama Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yang muncul itu biasanya dilihat dari perikemanusiaan dan perikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai ini di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan di kalangan aktivis Teologi Pembebasan. Nilai-nilai yang didapat dari tafsir Kitab Sucinya masing-masing. Sebagai contoh, Yesus hadir dalam situasi carut marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dari dasar inilah, maka orang Kristen harus mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya. Satu keyakinan yang dimiliki oleh mereka yang manganut teologi pembebasan adalah bahwa Yesus Sang Mesias, hidup dan tinggal di antara orang-orang tertindas, tertimpa kemiskinan dan yang menderita sakit penyakit di Yudea. Dengan tegar Dia berdiri tegak dalam konfrontasi dengan Ponitus Pilatus.
Salah satu tokoh dari teologi pembebasan adalah Gustavo Gutiérrez Merino. Ia lahir di Lima, Peru pada 8 Juni 1928. Gutiérrez adalah seorang teolog Peru dan imam Dominika dianggap sebagai salah satu pendiri utama teologi pembebasan di Amerika Latin. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk tinggal dan bekerja di antara orang miskin di Lima. Gustavo Gutiérrez adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion yang diterbitkan pada tahun 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin. Tuntutan Injil Kristus bahwa gereja berkonsentrasi pada upaya membebaskan masyarakat dunia dari kemiskinan dan penindasan.
Teologi pembebasan percaya bahwa doktrin ortodoks Allah cenderung untuk memanipulasi Allah dalam mendukung struktur sosial kapitalistik. Mereka mengklaim ortodoksi yang telah bergantung pada pengertian Yunani kuno Allah yang dianggap Allah sebagai makhluk yang statis jauh dan jauh dari sejarah manusia. Gagasan ini menyimpang dari transendensi Allah dan keagungan telah menghasilkan suatu teologi yang berpikir tentang Allah sebagai "atas sana" atau "di luar sana." Akibatnya sebagian besar dunia khususnya Amerika Latin telah menjadi pasif dalam menghadapi ketidakadilan dan takhayul dalam religiusitas mereka.
Teologi Pembebasan menanggapi dengan menekankan kegaiban dipahami dari realitas Allah. Tuhan tidak dapat dikenal melalui daftar doktrin. Allah ditemukan dalam perjalanan sejarah manusia. Allah bukanlah "berjongkok di luar dunia." Dia berdiri di depan kita di perbatasan masa depan sejarah. Allah adalah kekuatan pendorong sejarah menyebabkan Kristen mengalami transendensi sebagai revolusi budaya permanen. Penderitaan dan rasa sakit menjadi kekuatan pendorong untuk mengetahui Tuhan. Allah masa depan adalah Allah yang disalibkan di dalam dunia kesengsaraan. Allah ditemukan di salib yang tertindas bukan dalam kecantikan, kekuasaan, atau kebijaksanaan.
Gagasan Alkitab tentang keselamatan disamakan dengan proses pembebasan dari penindasan dan ketidakadilan. Dosa adalah didefinisikan dalam istilah kekejaman manusia terhadap manusia. Teologi Pembebasan untuk semua tujuan praktis menyamakan mengasihi sesama dengan mengasihi Allah. Keduanya tidak hanya dipisahkan tapi hampir tidak bisa dibedakan. Allah ditemukan dalam sesama kita dan keselamatan diidentifikasi dengan sejarah "menjadi manusia." Sejarah keselamatan menjadi sejarah keselamatan merangkul seluruh proses humanisasi. Sejarah Alkitab adalah penting sejauh yang model dan menggambarkan pencarian ini untuk keadilan dan martabat manusia. Pembebasan Israel dari Mesir dalam kitab Keluaran dan kehidupan dan kematian Yesus berdiri keluar sebagai prototipe untuk perjuangan pembebasan manusia kontemporer. Peristiwa-peristiwa Alkitab menandakan makna spiritual dari perjuangan sekuler untuk pembebasan.
Teologi pembebasan menekankan keselamatan yang universal, seluruh dunia ada di bawah kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Karunia ilahi--entah itu ditolak atau diterima—diberikan kepada semua orang, khususnya kepada orang-orang miskin.
Tanpa diragukan lagi, jelaslah bahwa Teologi Pembebasan telah menjadi bentuk teologi yang paling berpengaruh dan paling kontroversial khususnya di Amerika Latin pada akhir abad ke-20. Dan tidak tertutup kemungkinan manjadi jawaban bagi masyarakat yang masih terpinggirakan di abad ke-21 ini.
Teolgi Sukses
Teologi Sukses yang juga disebut dengan teologi kemakmuran adalah bagaimana mewujudkan surga di bumi dengan menjadikan sang Pencipta sebagai Sinterklaas yang berkewajiban mengabulkan setiap permohonan, sehingga setiap anak Tuhan sudah seharusnyalah hidup makmur, sukses, bebas dari masalah dan bahagia. Doktrin ini mengajarkan bahwa kesuksesan atau kemakmuran (kaya, berhasil, dan sehat sempurna) adalah tanda-tanda eksternal dari Allah untuk orang-orang yang dikasihinya. Kasih Allah ini diperoleh sebagai sesuatu takdir yang diberikan sebagai ganjaran untuk doa atau jasa-jasa baik yang dibuat oleh seseorang. Sementara itu, penebusan dosa yang dilakukan melalui pengorbanan Yesus Kristus bertujuan untuk memberikan berkat kesuksesan dan kesehatan.
Teologi sukses adalah ajaran tentang kesuksesan hidup bagi setiap orang beriman dalam hal ekonomi dan kesehatan. Bahwa seorang Kristen yang diberkati adalah mereka yang sukses dalam hidupnya, seseorang yang selalu sehat dan sempurna hidupnya, tidak ada cacat, mempunyai kemampuan kesembuhan ilahi. Teologi Sukses disebut juga Teologi Anak Raja, dan secara sederhana dapat disebut sebagai ajaran yang menekankan bahwa: “Allah kita adalah Allah yang Mahabesar, kaya, penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami kehidupan yang penuh berkat pula, kaya, sukses dan berkelimpahan.” Selain itu, sering sekali pengajarannya menonjolkan persembahan sebagai wujud investasi kepada Tuhan, kuat dalam persembahan perpuluhan seperti yang terdapat dalam Alkitab Perjanjian Lama: “Billa kita tidak memberikan persepuluhan, maka berarti kita mencuri harta Allah dan menipu Tuhan, dan bahkan akan terkena kutuk.” (Maleakhi 3:10). Dalam ayat itu juga mereka yakini bahwa persembahan 10% dari hasil setiap umat dianggap dapat membuka 'pintu surga' untuk menurunkan berkat yang berlimpah. Ayat ini seringkali dirujuk dalam Teologi Kemakmuran guna mengumpulkan persembahan di gereja. Umat yang meyakini pengajaran ini biasanya memberikan persembahannya dengan harapan akan mendapat berkat dari Tuhan lebih lagi. Hal ini membangun pemahaman bahwa Tuhan lebih mirip mesin ATM di mana kita dapat memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari Tuhan yang mencintai anak-anak dan memberikan hadiah kepada mereka.
Teologi sukses juga menekankan ajaran positive confession atau word of faith dalam sikap berdoa. Ajaran ini mempopulerkan kata-kata “berkuasa” yakni “name it & claime it” (sebutkan dan klaim janji Tuhan) sehingga orang percaya dengan segala ucapannya dapat menjadikan apa saja menjadi nyata. Positive Confession percaya bahwa pikiran manusia melalui pengakuan yang positif mempunyai kuasa menciptakan realitanya sendiri baik itu kesehatan, kekayaan serta kesuksesan. Hal ini lebih nyata terlihat dalam konsep dimensi ke empat yang digagas oleh Paul Yungi Cho. Di mana Yongi Cho menyakini bahwa seseorang akan mendaptkan apa saja yang ia membayangkan, termasuk dengan harta dan kekayaan. Memang pada umumnya mereka yang mempopulerkan Positive thingking membela dirinya seakan-akan Yesus adalah pemikir positif terbesar.
Tokoh-tokoh dari teologi sukses ini antara lain: Norman Vincent Peale, Robert Schuller, Paul Yonggi Cho, Keneth Hagin dan lainnya. Pada umumnya mereka hidup dalam kemewahan dan cenderung membangun gereja yang besar dan mewah dan hidup glamour. Dan setiap khotbah-khotbah mereka selalu menyinggung uang dan menekankan pemberian persembahan terutama persepuluhan dengan motivasi bahwa makin banyak memberi akan makin banyak menerima berkat. Ayat-ayat alkitab yang paling banyak digunakan adalah ayat-ayat yang menyebutkan bahwa tidak ada yagn mustahil dan tiak ada yang tidak mungkin bagi Allah yang Mahakuasa. Kata-kata itu merupakan slogan yang berkhasiat atau seperti mantra yang ketika diucapkan maka akan timbul mujizat apapaun yang dikehendaki, baik itu berupa mujizat kesembuhan maupun mujizat untuk memperoleh kekayaan dan kemakmuran.
PERSPEKTIF ALKITAB
Teologi Kontermporen memang sudah mempengaruhi masyarakat dan khususnya gereja. Apakah memang teologi ini benar dan sesuai dengan Alkitab? Itulah sebabnya penulis akan menyoroti dalam perspektif Alkitab.
Karl Marx/ Marxisme
Di satu sisi ini memang terlihat baik, karena akan bisa menyebarluaskan kekayaan secara merata, tetapi hal itu tidak dilaksanakan dengan sebuah proses alamiah. Pada masa gereja mula-mula terjadi terjadi kekurangan di antara jemaat karena masing-masing secara sukarela memberikan apa yang dapat diberikan bukan dengan secara paksa untuk dikumpulkan yang kemudian dibagi bagi kepentingan bersama. Konsep ini untuk memenuhi firman Tuhan yang berkata, “Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan." ( 2 Kor. 8:14-15). Ini adalah konsep keseimbangan yang diajarkan oleh Alkitab. Berbeda dengan konsep yang diajarkan oleh marxisme di mana semua dikuasai oleh negara untuk dibagikan kepada masyarakat. Memang marxisme menekankan keseimbangan tetapi keseimbangan yang dipaksakan.
C.S. Song
Memang C.S. Song mencoba memindahkan teologi dari Barat untuk berpijak di Asia dan bahakan menariknya dari Palestina untuk dipahami dalam kultur, agama dan politik Asia. Namun keinginan Song ini telah mengaburkan konsep yang dituangkan dalam Alkitab, khususnya yang menyangkal finalisasi keselamatan di dalam Kristus Yesus. Firman Tuhan berkata, “Yohanes Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6). Hal ini ditolak oleh Song, karena dia beranggapan bahwa Allah tidak hanya berkarya dalam budaya Yahudi tetapi Dia juga bisa berkarya dalam budaya bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya C.S. Song mencoba memahami Allah yang berinkarnasi sebagai contoh untuk inkarnasi injil terhadap budaya bangsa-bangsa khsusnya budaya Asia. Jadi menujrut Song Yesus itu memang Kristus tetapi Kristus tidak harus Yesus. Sebab Allah bisa juga memakai budaya-budaya yang ada untuk merealisasikan keselamatannya seperti Dia memakai budaya Yahudi. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan ungkapan Alkitab yang berkata, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kis 4:12). Dengan demikian tidak ada nama yang lain selain nama Yesus yang bisa menyelamatakan. Memang Allah bisa berkarya dalam setiap kebudayaan, tetapi Dia hanya bisa menyelamatkan manusia di dalam nama Yesus Kristus.
Walaupun Song memakai ayat-ayat Alkitab, tetapi dia tidak berdasar Alkitab. Sebab teologi yang dia khasilkan justru menghancurkan doktrin yang ada dalam Alkitab khususnya doktrin keselamatan. Dengan demikian teologi yang dihasilkan oleh Song ini adalah teologi yang Anti Kristus karena menolak finalisasi Kristus sebagai jalan keselamatan. Dan teologi ini lebih dekat pada sinkritisme karena menerima semua faham yang ada dalam setiap kebudayaan khsusnya kebudayaan Asia. Di mana Song mencampur aduk semua ajaran dari setiap kebudayaan dan agama yang dianggap memiliki kebenaran.
Teologi Pembebasan
Memang Allah membenci ketidakadilan, namun Dia juga tidak menyukai kekerasan untuk mencapai keadilan seperti yang dihalalkan oleh kelompok orang yang memiliki faham teologi pembebasan. Sebenarnya teologi pembebasan tidak lebih dari sebuah ideologi yang tidak berdasar Alkitab sekalipun memakai ayat-ayat Alkitab. Sebab Alkitab yang mereka pergunakan adalah ayat-ayat yang mendukung faham dan keyakinan mereka. Namun yang lebih mereka tekankan adalah bagaimana bisa keluar dari kapitalisme dan kolonialisme. Karena memang teologi ini lahir dari konteks sosio-politik dan bukan diawali dari Alkitab. Semua istilah dan teks Alkitab telah dimanipulasi untuk kepentingan cita-cita pembebasan sosial-politis.
Teologi pembebasan sangat bertentangan dengan Alkitab yang menekankan kasih dan bukan kekerasan. Itulah sebabnya ideologi ini membenarkan jalan revolusi berdarah dalam mencapai tujuannya sehingga sangat menyangkali firman Tuhan yang berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:44-45). Kalau teologi pembebasan menekankan kekerasan berarti sama dengan dunia ini. Padahal firman Tuhan di atas menandaskan bahwa orang Kristen harus berbeda dengan dunia ini.
Teologi Feminis
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perempuan mengalami ketidak adilan dari lingkungan dan sekitarnya yang membuat mereka bangkit untuk menuntut perubahan karena mereka meyakini bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sederajat. Memang ketika Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, Dia menciptakan mereka sederajat. “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej. 1:27). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Namun Alkitab juga memberikan penjelasan selanjutnya mengenai posisi perempuan dalam suatu struktur masyarakat. Hal itu bertujuan agar masyarakat itu memiliki aturan yang akan membawa kepada ketertiban. Sebagai contoh bagaiamana posisi suami dan istri, demikian juga posisi orang tua dan anak (Ef. 5;22-6:4). Aturan ini dibuat bukan untuk menerndahkan perempuan, tetapi untuk menata keluarga menurut maksud dan kehendak. Allah. Kalau ada penyimpangan bukan berarti kesalahan aturan yang dibuat dalam Alkitab, tetapi karena ketiadaan komitmen dari orang-orang yang diberikan aturan itu.
Hal lain yang kita bisa lihat dalam Alkitab adalah aturan yang dikenakan kepada perempuan yang berhubungan dengan kegiatan di geeja. Hal itu terlihat dalam1 Korintus 14:34-35 dan I Timotius 2:12-16. Pada kedua bagian tersebut Paulus melarang perempuan berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Hal itu dibuat karena merujuk pada kondisi dan situasi jemaat setempat bukan untuk merendahkan perempuan tetapi bagi kepentingan yang lebih luas. Sebab ternyata aturan itu tidak terlihat diberikan kepada jemaat yang lain dalam budaya yang berbeda. Itu menunjukkan bahwa ada kasus yang sedang terjadi ketika aturan itu diberlakukan.
Teologi feminisme di satu sisi memakai Alkitab untuk mendukung faham mereka, tetapi di sisi yang lain mengkritisi Alkitab yang sama karena merasa merendahkan perempuan. Hal itu terlihat ketika mereka menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pandangan yang mereka anut dalam teologi feminisme ini. Jadi ada paradoks ketika melihat Alkitab, karena otoritas Alkitab ditentukan oleh pembacanya dalam hal ini adalah perempuan. Jadi teologi feminis tidak bertitik tolak pada Alkitab tetapi pada pengalaman kaum perempuan yang tertindas. Dengan demikian teologi ini berpusat pada manusia dan bukan pada Allah.
Teologi Sukses
Mencermati teologi sukses maka kita menemukan pengertian bahwa teologi ini berusaha untuk mewujudkan surga di bumi dengan menjadikan sang Pencipta sebagai Sinterklas yang berkewajiban mengabulkan setiap permohonan. Dengan demikian setiap anak Tuhan sudah seharusnya hidup makmur, sukses, bebas dari masalah dan bahagia. Jika kau tidak maka ada masalah dari orang tersebut. Padahal selain banyak janji-janji berkat yang terdapat dalam Alkitab, juga banyak penderitaan yang diungkapkan di dalamnya. Memang Alkitab menuliskan bahwan “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh. 10:10b) Tetapi ayat ini tidak pernah dimaksudkan untuk mendapatkan kekayaan tetapi konteks ini berbicara tentang keselamatan. Itulah sebabnya tidak berdasar ayat ini diambil menjadi ayat pendukung bagi teologi sukses.
Setiap pengikut Kristus yang telah diselamatkan dari kematian kekal, dipanggil keluar dari kegelapan, akan menjalani hidup yang berhadapan dengan penderitaan akibat eksistensinya di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Setiap orang percaya wajib menyangkal diri dan memikul salib serta mengikut Tuhan. Karena sama seperti Kristus yang rela turun dari Surga, menjalani hidup yang penuh penderitaan dan mati di kayu salib untuk menebus dosa umat-Nya, begitulah seharusnya hidup setiap orang percaya harus siap diperhadapakan kepada realita hidup yang penuh dengan penderitaan. Sebab penderitaan yang dialami oleh orang percaya bukan karena kurangnya iman, tetapi menjadi sarana untuk membentuk semakin serupa dengan Kristus. Karena tujuan dari hidup di dunia ini setelah percaya Tuhan Yesus adalah agar bertumbuh menyerupai Yesus Kristus dan salah satu cara untuk itu adalah lewat penderitaan. “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Roma 8:29).
Jadi, tidak ada yang salah apapaun keadaan yang harus kita alami sebagai orang percaya di dunia ini. Sebab masalah tidak menjadi masalah kecuali kalau kita buat menjadi masalah. Bukankah tidak ada kemuliaan tanpa salib. Jadi kalau suatu saat penderitaan datang itu adalah baik seperti juga adalah baik ketika Tuhan memberkati kita.
IMPLEMENTASI DALAM PELAYANAN
Dengan melihat teologi kotemporer yang ada dan menyorotinya dalam perspektif Alkitab, maka perlau diambil sebuah tindakan untuk menjawab kebutuhan yang ada. Bagaimanapun Injil harus terus disebarluaskan namun harus melihat kondisi yang ada sehingga Injil semakin diterima.
Tidak bisa dipungkiri bahwa teologi kontemporer timbul karena menyikapi keadaan dan kondisi yang pada umumnya sungguh memprihatinkan. Itulah sebabnya kalau Injil mendapat respons, maka gereja harus hadir dalam setiap kondisi yang ada. Jangan pernah gereja membiarkan ketidak adilan terjadi sehingga yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin, seperti yang terjadi pada zaman Karl Marx yang membuat dia mencetuskan marxisme. Seharusnya kehadiran Injil membuat keseimbangan terjadi dalam masyarkat sehingga Injil yang tersebar akan membuat orang tidak egois dan menjadi berkat bagi orang lain.
Kesalahan geeja dalam masa lalu harus diperbaiki agar tidak timbul reaksi yang justru bertolak belakang denngan Alkitab seperti yang dilakukan oleh C.S. Song. Sekalipun pada awalnya Song bermaksud baik dengan menghadirkan Injil ke dalam budaya Asia agar lebih diterima oleh masyarakat di Asia, tetapi dia terlalu melangkah jauh sehingga justru menyangkali kebenaran yang ada dalam Alkitab. Kiranya Injil hadir dalam setiap budaya yang ada tanpa memperkosa atau meniadakannya. Memang Allah memilih budaya Yahudi untuk menghadirkan Kristus, tetapi bukan berarti meniadakan budaya-budaya yang ada. Memang Allah memakai dunia Barat dalam menyebarluaskan Injil, tetapi bukan berarti juga harus mengekspor budaya Barat dengan mengubur budaya setempat. Injil harus menjawab setiap kebutuhan dari setiap budaya yang ada karena untuk itulah Kristus hadir di dalam budaya dunia ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di masa yang lalu banyak ketidak adilan terjadi di gereja yang membangkitkan teologi feminis. Itulas sebabnya gereja harus terpanggil untuk memperbaikinya sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang sesungguhnya. Bukankah Kristus hadir untuk mengangkat harkat dan martabat manusia termsuk perempuan? Seharusnya Injil dihadirkan justru merealisasikan rencana Allah ini dan bukan sebaliknya. Harus ada usaha untuk memberikan keseimbangan teologi praktis di gereja sehingga pelayanan gereja semakin lebih efisien karena melibatkan laki-laki dan perempuan dalam satu pelayanan. Justru dengan natur pria dan wanita yang komplementer akan bisa saling melengkapi dan memberikan indikasi bahwa gereja akan diperkaya dengan adanya partisipasi wanita dalam pelayanan. Gereja harus menghadirkan Injil yang membangkitkan laki-laki dan perempuan bukan saja untuk diselamatkan tetapi juga dalam membawa kabar keselamatan itu kepada orang lain.
Demikian juga gereja harus terpanggil untuk menuntun orang yang tertindas mengalami kemerdekaan di dalam Tuhan. Kebutuhan ini harus dijawab lewat kehadiran Injil dalam masyarakat. Ketiadaan pengharapan sering membuat orang melakukan apa saja agar terlepas dari ketidak adailan yang mereka alami. Hal itulah yang membuat teologi pembebasan hadir dan memakai konsep yang bukan Alkitab sebagai alasan pembenaran. Memang Kristus datang untuk memerdekakan kita, tetapi bukan berarti kemeredekaan yang diberikan Allah itu membuat kita juga merdeka untuk melakukan apa saja termasuk kekerasan.
Namun perlu juga dikaji pelayanan gereja yang tidak menyentuh sosial masyarakat. Itulah sebabnya selain Injil diberitakan, gereja juga hadir dalam usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam masyarkat. Tentu usaha ini dilakukan didasari oleh kasih sehingga tidak bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab. Memang roti bukanlah Injil tetapi gereja juga harus mengupayakan agar orang-orang yang diijili bisa mendapatkan makanan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun harus diingat, jangan sampai gereja mengurusi “roti” lalu lupa dengan Injil yang harus disebarluaskan. Terkadang Injil tidak diterima oleh satu masyarakat bukan karena Injil tidak mereka butuhkan tetapi karena mereka sibuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan mereka membuat mereka tidak ada perhatian terhadap Injil. Itulah sebabnya gereja harus hadir.
Allah memang berjanji akan memberkati anak-anak-Nya, tetapi bukan berarti Allah harus meniadakan persoalan dalam hidup manusia. Bukankah dunia ini adalah tempat masalah dan persoalan karena dunia ini sudah jatuh ke dalam dosa? Namun bedanya orang percaya kepada Kristus menyikapi persoalan dalam dunia ini dalam perspektif Allah bahwa persoalan adalah sarana untuk membentuk orang percaya untuk semakin seperti Yesus Krisus. Memang manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan dan Injil harus hadir untuk itu, tetapi Injil yang benar tidak akan menutupi realitas hidup yang harus dijalani oleh setiap orang termasuk orang percaya. Allah tidak merencanakan sakit dan kemiskinan, tetapi kalau hal itu terjadi dalam kehidupan seserong berarti ada maksud Tuhan di dalam semuanya itu. Ingatlah akan firman Tuhan yang berkata, “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu." (Ul. 15:11) Hal yang sama juga Tuhan Yesus ingatkan, “Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, ...” (Mat. 26:11). Hal itu tentu Tuhan injinkan agar setiap kita yang sudah diberkati mau menerapkan firmannya dengan mengulurkan tangan sehingga genaplah firman Tuhan yang berkata, “Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan." (2 Kor. 8:15).
KESIMPULAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa teologi kontermporer hadir untuk mengisi kekosongan yang ditinggal oleh gereja. Itulah sebabnya gereja harus berusaha untuk mengambil alih peran itu agar umat tidak terseret ke dalam kesesatan. Mamang bagaimanapun teologi kontemporer tidak akan terbendung dan akan selalu hadir di setiap zaman, seperti firman Tuhan ungkapkan, “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (1 Tim. 4:1). Namun gereja harus mempersiapkan umat untuk memiliki iman yang berdasar agar ketika masa itu datang umat tidak diombang-ambingkan oleh pengajaran sesat.
Untuk itu injil harus semakin diberitakan dengan memperhitungkan konteks sehingga Injil yang diberitakan menjadi Kabar Baik yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Injil juga harus menjawab kebutuhan masyarakat sehingga kebenaran yang disampaikan bisa sampai tanpa harus mengkompromikan kebenaran yang ada di dalamnya. Kita yakin bahwa firman Allah dalam Alkitab masih relevan untuk zaman sekarang, tinggal bagaimana kebenaran yang ada di dalamnya disampaikan dengan memperhatikan masyarakat yang menarima Injil yang disampaikan. Dengan demikian selain Injil membebaskan mereka yang percaya pada pemberitaan itu, juga membebaskan mereka dari ketidak adilan, penjajahan dan perkosaan ha-hak individu. Bukankah firman Tuhan berkata bahwa, “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita.” (Gal. 5:1) Kebenaran ini tentu tidak hanya berlaku terhadap dosa, tetapi juga dari berbagai ikatan-ikatan yang lain termasuk penindasan. Namun perlu disadari ini semua hanya bisa terjadi lewat karya Roh Kudus yang berkerja dalam kehidupan setiap orang yang mengaku diri percaya Tuhan Yesus.
Oleh karena itu, seharusnya gereja bangkit untuk menyuarakan kebenaran tanpa harus mengkompromikannya sehingga dunia semakin dituntun kepada rencana Allah dan bukan rencana manusia. Hal itu hanya bisa terjadi kalau setiap orang yang sudah percaya kepada Kristus memenuhi perannya masing-masing sehingga karya Allah semakin nyata melalau orang yang mau dipakai untuk kemuliaan nama-Nya. Kiranya setiap kita mau berpacu dengan lebih sungguh lagi untuk memperlengkapi umat dengan kebenaran firman Allah sehingga tidak ketinggalan dengan teologi-teologi yang menyesatkan yang mencoba menyimpangkannya jauh dari Firman Allah..
No comments:
Post a Comment